Soe Hok Gie |
Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember
1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957
sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah
buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman.
Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 — 16
Desember 1969 akibat gas beracun.
Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan
kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi
aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar
terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam
rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman
seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para
pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa
dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan
sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah
satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian
gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I
see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air
and to eat and sleep with the earth”.
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam
catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta
dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia,
dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena
dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi
dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung
Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang
bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami
katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme
tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat
mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya
dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula
pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan
catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya
mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya
perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit
sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim
dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang
begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru
lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng
Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang.
Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan
lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia
meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan
pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar
di puncak Gunung Pangrango.
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya
Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib
terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang
tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang
mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya.
Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya
kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin
dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil …
orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan
adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang
ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini
saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah
DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.
Tahun depan Mira Lesmana dan Riri Reza bersama Miles
Production akan meluncurkan film berjudul “Gie” yang akan diperankan oleh
Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Lukman Sardi dan Thomas
Nawilis. Saat ini sudah memasuki tahap pasca produksi.
John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang
mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya
kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang
terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan
banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang
dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira
Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca
buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang
akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan & Komentar Anda di Agung Blog